Festival Gedong Hormati Keberadaan Para Dewa

19.35 / Diposting oleh nivra /

Shangri-La – Ratusan umat Budha berkumpul di dataran tinggi Tibet, terletak ribuan meter diatas permukaan laut. Kerumunan ini membentuk corak warna merah muda dan biru saat berlangsungnya Festival Gedong pada Selasa (12/1). Acara yang diadakan di biara Ganden Sumtseling di Shangri-La, para pengunjung berbaur menjadi satu antara tua dan muda. Foto: Tarian Cham untuk hormati para Dewa Foto: Para Lama menyaksikan acara Festival Gedong ... Seluruh pengikut ini mengenakan pakaian tradisional, mereka menyaksikan tarian religius Cham. Terdapat biksu yang memakai topeng yang digambarkan seolah-olah seperti hantu dan juga kumpulan para dewa dari jajaran mitologi Budha hingga suara lamas yang memainkan instrument tradisional seperti simbal, drum serta suara seremonial yang keras dan dalam berasal dari tanduk hewan. Tsering Choetso seorang petani berusia 52 tahun mengatakan arti yang sebenarnya dari festival ini sangat sulit dijabarkan dengan menggunakan bahasa selain Tibet. Kendati demikian festival ini digambarkan sebagai sebuah kesempatan untuk memberi hormat kepada para Dewa seperti halnya juga pada nenek moyang kita yang telah tiada. “Hantu adalah dewa terendah di dunia yang mewakili keberadaan serta kemiripan dari neraka,” jelas Choetso seperti dikutip AFP. “Kami yakin jika hadir disini, melihat dan berdansa, kami tak akan merasa takut pada mereka jika kami bertemu setelah kematian,” lanjut Choetso. Pemimpin spiritual Tibet yang diasingkan, Dalai Lama mendapat julukan ‘serigala berbulu domba’ dari partai komunis yang menjadi penguasa. Mereka menganggap Lama berusaha memecah belah negara. Budha merupakan salah satu dari 5 agama yang disahkan oleh pemerintah China. Otoritas keamanan China yang sesekali menunjukkan kehadirannya pada acara-acara biara, pada Festival Gedong kali ini tidak terlihat sama sekali. Bagi Lurongzhuxi pemimpin umat Budha di Tibet, acara ini merupakan sebuah jalan untuk membawa kosmologi agama dalam menjalani kehidupan. “Dalam kehidupan sehari-hari kami, sangat sedikit yang dapat menyaksikan kehadiran dewa,” jelas Lurongzhuxi. “Kendati demikian, kami sangat percaya bahwa keberadaan mereka ada dimana-mana. Kini tarian Cham dapat diartikan sebagai pengingat akan keberadaan para Dewa,” lanjut Lurongzhuxi. Sejak tahun 1950-an wilayah Tibet berada dibawah kekuasaan China. Budaya berbasis ajaran Budha berusaha dihancurkan oleh penguasa asal negeri tirai bambu ini melalui politik dan penindasan agama serta imigrasi dalam jumlah besar warga China keturunan Han. Namun pemerintah Beijing tetap menghimbau untuk menikmati kebebasan di wilayah itu dan pertumbuhan ekonomi yang baik terlihat disini. Selama periode revolusi budaya segala sesuatu yang menonjolkan identitas etnis seperti aktifitas keagamaan atau festival lokal sangat dilarang keras dan secara brutal mendapat penindasan. Saat periode itu, Biara Ganden Sumtseling juga mengalami kerusakan cukup parah. Tempat ibadah yang berdiri sejak abad ke-17 ini juga sering disebut sebagai “Potala Kecil” karena kemiripannya dengan istana Lhasa yang ikonik. Kebangkitan biara dari kehancurannya terlihat dari adanya renovasi yang dilakukan secara ekstensif, pembangunan kembali yang berkembang hingga terintegrasi menjadi sebuah kawasan komersial bagi wisata asing. Kini untuk masuk ke dalam biara, pengunjung harus membayar biaya masuk yang cukup mahal. Festival ini juga dijadikan sebagai ajang promosi utama wisata untuk berkunjung ke biara. Foto: Tampak Biara Ganden Sumtseling berdiri megah kaya akan sejarah Lokasi berdirinya biara sesungguhnya berada dalam wilayah Tibet terletak di propinsi Yunan, China. Wilayah ini dulu dikenal dengan nama Zhongdian. Namun strategi untuk meningkatkan kehadiran turis asing, wilayah ini pada 2001 mengubah namanya. Dalam sebuah karya novel dari James Hilton pada 1933 wilayah ini digambarkan sebagai surga pegunungan.

Label: , , , , , ,

0 komentar:

Posting Komentar