Deprisiasi Mata Uang China Tak Pengaruhi Warganya

19.59 / Diposting oleh nivra /

SINGAPURA – Terjadinya devaluasi yang diikuti dengan perlambatan ekonomi yang dialami China membuat kekacauan besar dalam dunia pasar saham, tapi hal ini tak menjadi kekhawatiran bagi seorang turis. Henry Lee pria 36 tahun asal Beijing, China berprofesi sebagai wirausaha dalam bidang teknologi. Deprisiasi Mata Uang China Tak Pengaruhi Warganya SINGAPURA – Terjadinya devaluasi yang diikuti dengan perlambatan ekonomi yang dialami China membuat kekacauan besar dalam dunia pasar saham, tapi hal ini tak menjadi kekhawatiran bagi seorang turis. Henry Lee pria 36 tahun asal Beijing, China berprofesi sebagai wirausaha dalam bidang teknologi. “Saya bahkan tidak mengetahui berapa nilai tukar mata uangnya, “ucap Lee dilansir AFP. “Kami berada disini untuk bersantai dengan kedua anak – anak kami. Kami tidak akan berbelanja banyak. Saya membeli tas Tumi dan juga gelang Tiffany untuk istriku, “sambung Lee. Lee berada Singapura menghabiskan waktu liburnya bersama keluarga, dia mengunjungi Merlion Park yang letaknya berhadapan dengan bangunan besar komplek kasino Marina Bay Sands, yang menjadi tempat favorit bagi para turis asal China. Lee, merupakan salah satu dari puluhan juta rakyat China dalam kategori penduduk kelas menengah yang sedang mengalami pertumbuhan. Rakyat kelas menengah China dapat melakukan wisata liburan keluar negeri sekali tiap tahunnya. Pusat Penerbangan Asia – Pasifik (CAPA) melaporkan pada 2010 terdapat 57 juta warga China yang berlibur keluar negeri. Seiring dengan bertambahnya warga kelas menegah di negara itu, sehingga jumlah ini mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat menjadi 117 juta pada 2014. Para ahli berpendapat bahwa pola peningkatan taraf hidup ini akan terus berlangsung. “Prediksi jangka pendek kunjungan dari turis China tetap akan terjadi dan untuk jangka panjangnya sangat cerah, “tulis CAPA dalam laporannya. Kejutan yang dialami Beijing dengan terjadinya devaluasi mata uang pada 11 Agustus, merupakan yang terendah terhadap mata uang Amerika Serikat (Dollar) dalam kurun waktu empat tahun. Situasi ini memicu ketakutan turis – turis China berkantong tebal, sehingga mereka memutuskan untuk tetap tinggal di rumah. Nilai saham dalam industri pariwisata seperti hotel di Asia mengalami penurunan, sementara pemimpin Cathay Pacific telah memaksa untuk meyakinkan para investor bahwa kini kondisi maskapai berada dalam keadaan aman. Sementara diberlakukannya kelonggaran untuk mendapatkan visa dan kuatnya mata uang Yuan terhadap mata uang Asia lainnya membuktikan bahwa turis China bukan hanya besar jumlahnya, namun mereka juga dianggap sebagai turis yang berbelanja banyak di negara tujuannya. “Ini tidak biasa bagi seorang pengunjung China untuk berjudi dan menghabiskan uang lebih dari sejuta USD dalam sekali perjalanan,” ucap Aaron Fischer, kepala regional CLSA. “Kemungkinan terdapat 5.000 orang seperti mereka,” sambung Fischer. Besarnya kekuatan keuangan para turis asal China memang cukup mengejutkan. Menurut kantor berita China, Xinhua, jika dibanding pada 2008, terjadi peningkatan jumlah uang yang dikeluarkan turis asal China sebesar empat kali lipat senilai USD 164,8 miliar (Rp 2.312,1 triliun) pada 2014. Dari nilai tersebut sebanyak 88% dihabiskan dalam bentuk belanja. Menurut lembaga pemikir dari Badan Pemasaran Turisme Jepang, jumlah turis China yang berkunjung ke Jepang juga mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat pada periode Juli. Jika dibanding Juli 2014, tahun ini terdapat lebih dari 550.000 wisatawan asal China berkunjung ke Jepang pada Juli 2015. Mereka membelanjakan uangnya rata – rata sebesar USD 1.100 (Rp 15,4 juta). Fischer mengatakan, bahwa turunnya nilai mata uang China, tak akan menjadi hambatan bagi rakyatnya untuk berlibur keluar negeri, namun beberapa akan menjadi lebih sadar akan uang yang mereka akan belanjakan, terutama jika mereka akan membeli barang – barang mewah. Ketua Asosiasi Travel Indonesia Asnawi Bahar mengatakan terjadi kekhawatiran dalam industri pariwisata bahwa turis – turis asal China yang jumlahnya sekitar satu juta tiap tahunnya, mereka akan menahan diri untuk berbelanja dan mempersingkat waktu kunjungan mereka di Indonesia. Kekhawatiran ini juga diungkapkan oleh negara Asia lainnya seperti Filipina dan Korea Selatan.

Label: , , , ,

0 komentar:

Posting Komentar