Undercover Marketing

11.18 / Diposting oleh nivra /

UNDERCOVER MARKETING

Undercover selalu menarik perhatian, karena dia samar-samar, memancing rasa ingin tahu, dan membuat orang penasaran. Macam buku Jakarta Undercover yang dicetak berulang-ulang itu. Artikel ini tidak dimaksudkan untuk membahas buku yang penjualannya lumayan bagus itu, tapi kebetulan saja ada kaitan tak langsungnya.

Segala sesuatu yang samar selalu mengundang perhatian. Disadari maupun tidak, secara psikologis orang akan tertarik untuk menjadi bagian dari pengurai kesamaran. Karakter yang sangat manusiawi. Para pemasar pun cukup jeli melihat fenomena yang satu ini. Bukankah inti pemasaran adalah memahami manusia (konsumen) dalam rangka memenuhi kebutuhannya? Ciri yang sangat manusiawi ini disambar untuk menjadi salah satu alternatif strategi pemasaran.

Dengan cerdiknya pemasar mengemas ciri ini dan merekayasanya sebagai strategi alternatif dalam mempromosikan produknya. Apalagi khalayak sasaran sudah jenuh dibombardir dengan cara pemasaran konvensional. Cara konvensional acap lebih menempatkan konsumen sebagai obyek semata. Obyek yang bisa dijejali dengan produk maupun citra yang wah lewat para pesohor, tanpa konsumen dapat merasa terlibat di dalamnya. Di sini konsumen hanyalah orang pinggiran belaka.

Strategi alternatif ini direkayasa sedemikian rupa. Setting-nya dibuat sealamiah mungkin yang melibatkan orang-orang biasa yang tidak menyedot perhatian. Tujuannya agar khalayak sasaran tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi bagian dari proses pemasaran sebuah produk atau jasa. Inilah mengapa pendekatan ini acap disebut dengan undercover marketing. Kuncinya lolos dari radar konsumen maupun kompetitornya, seperti pesawat siluman Stealth. Tak heran jika strategi ini juga disebut stealth marketing.

Dari modus operandinya yang bertumpu pada penyamaran dan bukan mengikuti arus pendekatan yang lazim, strategi ini boleh digolongkan dalam guerrilla marketing.

Lantas karena tujuannya yang utama adalah menghasilkan desas-desus (buzz) alias pembicaraan dari mulut ke mulut yang sifatnya spontan (spontaneous words of mouth), gratis dan bahkan lebih mudah dipercaya, sebagian orang lebih suka menamainya buzz marketing. Kendalanya pemasar cenderung sulit memprediksi keluarannya, tidak mudah untuk mengkalkulasi dampak yang dihasilkan. Tetapi begitu cara ini berhasil, desas-desus ini muncul sebagai publisitas yang gampang menyebar, menginfeksi dari orang yang satu ke orang yang lain seperti virus (viral marketing).

Spontanitas itulah kata kunci yang dicari pemasar. Pada pemasaran jenis ini dibangkitkan rekomendasi spontan yang muncul dari konsumen kepada temannya. Dengan demikian aspek dibeli dan dibayar dari transaksi ini harus disembunyikan. Hubungan yang terjalin tidak dalam iklim bisnis, tapi antar teman. Tentu saja dalam hal ini karyawan dari perusahaan terkait tidak cocok untuk bermain dengan skenario ini, termasuk juga pesohor. Kecuali jika mereka ini bisa berperan secara meyakinkan dalam menunjukkan antusiasnya terhadap produk tersebut.

Contoh sukses dari strategi ini seperti apa yang dilakukan oleh Sony Ericsson. Ketika mempromosikan ponsel berkamera mereka mengusung topik kampanye turis gadungan (fake tourists). Untuk mementaskan skenario ini dengan merekrut enam puluh orang dengan tampang polos yang dipilihnya untuk menjadi aktor jalanan di sepuluh kota. Modus operandinya, mereka menyamar sebagai wisatawan dan minta tolong dipotret dengan ponsel kamera tadi. Begitu selesai bilang Thanks a lot, man. It's cool, right?" Ucapan terima kasih dengan pesan yang singkat dan jelas setelah trial, diucapkan tanpa ada kesan menjual yang berlebihan. Mirip dengan soft selling yang disampaikan selayaknya ngobrol, tanpa kesan untuk memaksa. Bedanya, pesan yang disampaikan tidak disadari oleh konsumen sebagai menjual karena tersamar skenario turis gadungan tadi. Siapa yang menyangka kalau turis gadungan tadi sebagai pihak yang dibayar Sony Ericsson untuk mempromosikan produknya ?

Sebaliknya, jika pemasar gagal menyembunyikan kepentingan terselubung ini, akibatnya bisa fatal. Konsumen yang terbuka tanpa perlindungan akibat ketidaktahuan penyamaran ini akan kehilangan kepercayaannya. Lebih parah lagi, konsumen bisa merasa dipermainkan, dimanipulasi untuk menyukai produk ini. Ujung-ujungnya, asosiasi yang muncul justru mislead. Dalam konteks ini, agar dapat menimbulkan desas-desus ini digunakan pengumpan sehingga undercover marketing berubah menjadi roach baiting.

Namun hati-hati jangan sampai menjadi bumerang bagi pemasar. Alangkah eloknya jika strategi dibuat jangan sampai melanggar rambu-rambu yang ada. Apakah rambu-rambu yang berupa kode etis, maupun perhitungan bisnis yang rasional. Jangan sampai aspek unik dan berkesan yang ingin diciptakan diperoleh dengan menghalalkan segala cara. Sensasional memang bagus sampai batas tertentu saja, sebatas masih mendukung reputasi yang positif untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Karena bisa dibayangkan jika ujung-ujungnya justru terjerat tuntutan hukum, akan menjadi promosi yang buruk bagi kredibilitas perusahaan dan justru kejeblos menjadi negative words of mouth.

Selain dengan memakai orang-orang biasa, strategi ini bisa dijalankan melalui penempatan barang (product placement) yang direkayasa agar tidak seperti promosi. Film James Bond merupakan salah satu media favorit orang untuk menempatkan produk yang berbau teknologi. Di Indonesia, Indonesia Idol terlihat banyak dipakai untuk menempatkan produk. Yang tak kalah menariknya juga adalah penempatan di media mailing list atau yang lebih populer disebut milis.

Sesungguhnya penekanan strategi ini bukan pada soft sell dan bukan pula hard sell, tapi secret sell. Berbeda dengan sneaky marketing macam yang dilakukan Coca Cola dengan membayar McDonald untuk memastikan bahwa tidak ada pilihan minuman selain produknya di situ. Cara membedakannya adalah, jika konsumen benar-benar mengetahui apa yang terjadi, apakah reaksinya berbeda ?

Sebagai strategi penyusupan ke dalam wilayah konsumen, gampangnya bisa dibilang sebagai strategi caper (cari perhatian), atau bahkan curi perhatian. Terlihat jelas dari operasionalisasinya, strategi ini irit dalam biaya. Menghitung resiko dan hasilnya, strategi ini cocok dipakai sebagai satu bagian dari strategi yang lebih luas. Misalnya sebagai bagian dari Marketing PR. Apalagi bagi industri yang penuh dengan barrier macam industri rokok. Dapat pula diterapkan bagi pendatang baru dalam industri yang ketat persaingannya, atau untuk menghadapi kompetitor raksasa yang sudah mapan.

Kreatif atau subversif tergantung bagaimana mendesain dan mengeksekusinya. Sedangkan sebagai konsumen yang dijadikan target, sebaiknya mengikuti saja pesan berikut, Smile, youre in candid camera!

Label:

0 komentar:

Posting Komentar