GAZA – Ruangan yang terdapat pada sebuah bangunan yang digunakan sebagai Institut Yatim Piatu al-Amal dapat digunakan oleh semua anak – anak, poster tokoh kartun Donald Duck terpampang di dinding dan boneka Teddy Bear diatur rapi dalam barisan diatas tempat tidur. Tapi kecerahan ini hanya sebuah pemandangan saja... ..Anak – anak ini menggambar situasi konflik. Mereka membuat sketsa roket, pesawat tempur Israel, gambar orang – orang yang hancur terkena serangan musuh. Mereka terjebak dalam situasi konflik yang berkepanjangan, jadi inilah yang terekam oleh ingatan mereka. “Ketika saya mendengar suara pesawat, Saya merasa ketakutan, “ungkap Aisha al-Shinbary, 8, seperti dilansir Al Jazeera. “Saya kehilangan rumah selama perang, saya tidak mau mengingat rumah lagi. Saya berharap untuk mati supaya dapat bertemu kembali dengan ibu saya, “tambah Aisha. Ayahnya meninggal secara alami dan kakak lelakinya terbunuh oleh serangan udara militer Israel. Hal ini membuat ibunya tidak dapat memberi nafkah untuk semua anaknya. Rumah yatim piatu ini telah menjadi rumah Aisha selama beberapa tahun terakhir. Selama perang tahun 2014, panti asuhan mengirim semua anak – anak asuhnya untuk tinggal bersama kerabatnya, sementara tempat ini akan digunakan untuk tempat penampungan bagi ratusan pengungsi Gaza. Akhirnya Aisha dapat kembali lagi tinggal dengan ibunya, namun tak lama setelahnya serangan udara militer Israel menyebabkan ibunya meninggal. Sekarang, Aisha kerap didatangi ibunya dalam mimpinya. Ia mencium dan memeluk putri kecilnya dan kemudian menghilang. Cerita Aisha bukan cerita biasa di Jalur Gaza yang tekepung, dimana serangan Israel berlangsung selama 51 hari tanpa henti menewaskan lebih dari 2.200 warga Palestina pada musim panas ini dan jumlah korban luka lebih banyak dari yang meninggal. Abed Almajed Alkhodary, ketua panti asuhan al-Amal mengatakan, pada perang 2014 ini membuat lebih dari 1.500 anak menjadi yatim piatu, ditambah dengan puluhan ribu yang lebih dulu bermukim di Gaza. Panti asuhan yang sudah berdiri lebih dari 60 tahun lalu dan tetap menjadi satu – satunya penampungan yatim piatu di Kota Gaza, mereka hanya menampung anak – anak yang paling membutuhkan saja, karena keterbatasannya sehingga tidak dapat menerima seluruh anak yatim piatu di seluruh Gaza. “Beberapa anak yatim piatu disini menjadi saksi mata dari keluarga dan ibu – ibu mereka yang tewas di hadapannya., “tambah Alkhodary kepada Al Jazeera. Setelah perang 2014, jumlah anak – anak yatim yang bermukim di panti asuhan al-Amal jumlahnya hampir dua kali lipatnya menjadi 150 orang, jumlah ini yang tertinggi sepanjang sejarah panti asuhan. Terdapat 50 orang pekerja di panti asuhan yang bertugas mengawasi, mengajar, bermain, memberi makan, membuat nyaman. Rumah yatim yang didanai secara pribadi ini, sekarang sedang direnovasi dan diperluas. “Situasi psikis dari anak – anak yang orang tuanya terbunuh, yang ketika itu sedang keluar rumah membeli sesuatu dan saat kembali ke rumah mendapati keluarganya sudah meninggal, ini adalah hal yang terburuk yang anda lihat, “ujar Meqbin seorang psikolog. Ia menambahkan, banyak dari anak – anak ini berjuang dengan masalah psikologis yang mendalam dan rasa kecemasan yang amat sangat. Rewayda Kassab, seorang pekerja administrasi di panti asuhan menjelaskan bahwa hal ini tidak benar terjadi. Seorang ibu mencoba menjelaskan kepada anaknya bahwa ayahnya tewas sebagai pahlawan perang dengan sedikit mengarang cerita. Hal ini dilakukan untuk mengingat kepergian ayahnya sebagai seorang pahlawan. Sebenarnya ayah anak ini tewas dikarenakan sepihan ledakan misil yang menancap tepat di jantungnya dan ketika ayahnya dilarikan ke rumah sakit bom lain meledakkan mobil itu. Manal Abu Taiema, 11, juga teringat kembali dengan jelas tentang kematian ayahnya. Dia ingat ketika ayahnya mengatakan, “Jangan berada dekat di jendela. Beberapa saat kemudian, dua misil menghantam rumah mereka, “seperti dilansir Al Jazeera. “Satu misil mengenai sepupunya dan menghancurkannya, satu lagi membuat luka sangat parah pada kepala ayahnya, “ tambah Taiema. Ketika ia berbicara, berulang kali ia melakukan gerakan memeras tangannya, sebuah sikap yang dicontohkan kakaknya yang berada didekatnya. “Setiap kali saya mendengar suara mobil ambulans, saya menangis, karena saya telah mendengar begitu banyak selama perang. Saya aman disini (panti) tapi tidak di Gaza. Disana saya selalu menunggu perang baru, “tambah Taiema.
Label: Anak yatim piatu, Israel, Jalur Gaza, Kota Gaza, penderitaan anak Gaza
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar