MALI - Kodjan mulai terlihat berubah menjadi abu-abu. Sedikit demi sedikit terjadi perubahan demografi dimana para pemuda Mali mengikuti gelombang eksodus bersama migran negara Afrika lainnya. Mereka menuju benua biru Eropa untuk mencari kehidupan yang lebih baik. ... “Ketiga cucu saya pergi berpetualang dalam mencari kehidupan lebih baik di Spanyol, karena tak ada apapun disini,” ucap seorang nenek 72 tahun, seperti dikutip AFP. “Jika mereka tidak pergi, kami akan mati kelaparan,” lanjut nenek. Hal ini berlaku sama bagi sekitar 2.000 pemuda yang tinggal di 60 kilometer arah barat ibukota Bamako. Organisasi Internasional untuk Migran (IOM) mengatakan hampir sebanyak 140.000 migran asal Afrika tiba di Italia pada 2015, mereka menempuh perjalanan laut. Sebagian besar dari mereka berasal dari Eritrea, namun juga ada yang berasal dari negara-negara Afrika Barat. Para pemimpin negara-negara anggota Uni Eropa dan lebih dari 30 negara Afrika termasuk Mali mengadakan pertemuan di Valletta, Malta. Pada hari ini, mereka akan melakukan pembahasan mengenai krisis migran di Eropa. Pemimpin negara-negara Afrika akan diminta untuk mengesahkan rencana aksi yang bertujuan mencari akar penyebab terjadinya gelombang migrasi masal. Eksodus yang dilakukan para pemuda Kodjan lebih didasarkan kepada uang, dikarenakan pergerakan ekonomi negara ini hampir seluruhnya bergantung pada sektor pertanian. Lain halnya dengan para migran asal Eritrea yang bermigrasi karena gaya kepemimpinan diktator yang menindas dan berdarah. “Saat musim dingin berakhir, tak ada lagi hal yang dapat dilakukan dan para pemuda lebih baik pergi daripada berdiam diri sekarat dihantui rasa malu,” ucap Ousmane Diarra seorang petani. Dia juga mengatakan bahwa dalam setiap keluarga sedikitnya tiga anak laki-laki mereka berpetualang keluar negeri, mencari uang untuk kelurga mereka. Wakil kepala desa Moussa Diarra, 77, sambil duduk di kursi kayu dibawah pohon di taman ditemani ayam-ayam yang mematuk gandum. Dia mencoba menjelaskan situasi ini kepada Dewan Kota Kodjan. “Para penduduk desa bersama-sama mengumpulkan uang yang diperlukan para pemuda sebagai modal transportasi,” jelas Moussa. “Misalnya seperti bulan lalu, kami menjual seekor sapi untuk menggalang dana untuk dana bagi tiga pemuda,” lanjut Moussa. Pejabat setempat mengatakan, para pemuda melakukan perjalanan ke kota besar Mali untuk mencari pekerjaan. Saat mereka memiliki cukup tabungan, perjalanan pun dilanjutkan ke Libia atau Maroko kemudian akan ditutup dengan perjalanan menantang maut menyeberangi Laut Mediterania untuk masuk ke Eropa. “Ketika para pemuda tiba di Eropa, kami merasa bahagia disini. Ini akan menjadi solusi bagi masalah kami,” ucap Oumar Diarra seorang penduduk desa. Warga lainnya Sika Diarra dengan bangga menunjukkan antena parabola diatap rumahnya. “Anak lelaki saya kerja di Spanyol. Dia mengirimi kami uang dan kami berterima kasih kepadanya sehingga kami dapat memiliki antena parabola,” jelas Sika. “Kami berdoa pada Tuhan semoga adik lelakinya bisa segera menyusul ke Eropa. Hanya itu yang dapat menyelamatkan kami, tak ada yang lain,” sambung istri Sika. Warga Kodjan lainnya, seorang wanita 15 tahun dengan bayinya mengalami hal yang tidak menyenangkan. Dengan rasa cemas menjelaskan sudah sejak dua tahun lalu suaminya pergi ke Spanyol, sejak itu pula tak terdengar kabar lagi darinya. Wanita lainnya di desa juga mengalami hal yang sama, sudah lima tahun dia juga tak mendapat kabar dari suaminya. “Saya tahu ini bukanlah hal mudah, namun ini sebuah pilihan yang harus diambil,” jelas Maimouna Diarra. Pola yang sama juga terjadi didesa lainnya, seorang anak perempuan usia tujuh tahun hampir tidak tahu siapa ayahnya. Diketahui sudah selama enam tahun, sang ayah tinggal di Perancis secaa ilegal. Mamadou Keita dari Asosiasi Deportasi Mali mengatakan itulah yang terjadi, para pria rela meninggalkan istri dan anaknya. Asosiasi pimpinan Keita bertugas membantu warga Mali yang dideportasi dari luar negeri untuk kembali beradaptasi. Diarra Djenaba Konare seoran gpenyiar radio telah berkampanye agar para pemuda tetap tinggal di kampung halaman, namun hal ini tidak didengar oleh mereka. Para pemuda menganggap mati berjuang di lautan lebih mulia dibanding berdiam diri dirumah tak berbuat apapun. Sejauh ini mayoritas hanya para pria yang berpetualang, namun juga banyak wanita yang ingin pergi ke Eropa. “Kami harus menjelaskan kepada para pemimpin Eropa solusinya bukan dengan menutup perbatasan,” ucap Konare. “Mereka dapat menutup perbatasan, namun para pemuda tetap terus berdatangan. Solusinya adalah duduk bersama dengan semua pihak dan berbicara,” tambah Konare.
Label: generasi penerus Mali, Mali, Mali kehilangan pemuda, pemuda Mali hijrah ke Eropa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar